Saturday, December 22, 2007

mematikan perasaan, mengosongkan diri.

note : tulisan ini sbenerny pernah gw posting di blog friendster gw. cuma karena d friendster archivenya tuh ga ad ( kl maw nambah archive mesti bayar >.< ), jadi kl maw nyari postingan lama tuh susah banget.. berhubung skrg ud pnya blog d blogger, dan tulisan ini blm pernah gw post dsini, jadi yaa, gw post sajalah :D Judul buku : Tuesdays with Morrie
Pengarang : Mitch Albom
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 209 halaman

Pernah baca buku ini ? kalo belom, gw saranin bgt bwat BACA ! hehe. soalnya buku ini menyentuh bgt. bikin kita yg baca bisa belajar tentang kehidupan dan mengintrospeksi diri kita sendiri. ini ga promosi loh yaa. buku ini termasuk buku semi-biografi yang ditulis berdasarkan kisah nyata. penulisnya, Mitch Albom, memiliki seorang profesor bernama Morrie yang saat kuliahnya dlu sangat dikaguminya. namun karena aktivitas yang padat, setelah menyelesaikan kuliah Mitch tenggelam dalam kesibukannya sendiri. saat mendengar berita tentang profesornya yang sakit parah, Mitch datang menemuinya kembali. dan mulai saat itu dimulailah kuliah Mitch kembali yang berlangsung setiap hari selasa. uniknya kuliah ini merupakan kuliah tentang kehidupan yang subjeknya menyangkut banyak hal seperti tentang cinta, menghargai orang lain, teman, kematian, dll.

ada satu bagian yang gw suka banget dari buku ini, dan inti dari post kali ini emg kutipan dari salah satu bagian buku Tuesdays with Morrie tersebut. judulnya adalah :


Mematikan perasaan, mengosongkan diri.

Ambil contoh salah satu emosi ─ cinta kepada seseorang, atau kasihan kepada orang yang kita sayangi, atau rasa takut dan nyeri akibat penyakit yang mematikan. Apabila kita menahan emosi-emosi itu ─ tidak membiarkan diri kita mengalaminya ─ kita tidak akan pernah dapat mematikan rasa, kita terlalu sibuk menghadapi rasa takut. Kita takut mengalami rasa nyeri, kita takut mengalami rasa sedih, kita takut mengalami penderitaan akibat cinta.

Tapi dengan membiarkan diri mengalami emosi-emosi ini, membiarkan diri terjun ke dalamnya, sampai sejauh-jauhnya, kita akam mengalami secara penuh & utuh. Kita tahu arti sakit. Kita tahu arti cinta. Kita tahu arti sedih. Dan hanya ketika kita mengatakan, “Baiklah. Aku telah mengalami emosi itu. Aku kenal betul emosi itu. Sekarang aku perlu mematikan perasaan dari emosi itu untuk sementara.”

Betapa sering kita perlu berbuat seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Betapa sering kita merasa kesepian, kadang sampai sangat ingin menangis, tetapi kita berusaha keras untuk tidak mengeluarkan air mata karena kata orang kita tidak boleh menangis. Atau betapa dahsyat rasa cinta yang kita rasakan pada seseorang tetapi kita tidak mengatakan apapun karena terbelenggu oleh rasa takut bahwa pengungkapan dengan kata-kata akan berpengaruh buruk terhadap hubungan kita.

Basuhlah diri kita dengan emosi. Kita takkan terluka karenanya. Kita malah akan terbantu. Apabila rasa takut itu kita biarkan, apabila kita menerimanya apa adanya, kita akan berkata pada diri sendiri pada akhirnya, “Sudahlah, ini hanya rasa takut. Aku tidak akan membiarkannya mengendalikanku. Aku memandang seperti apa adanya.”

Sama halnya dengan kesepian, kita membiarkannya datang, kita membiarkan diri merasakannya secara utuh ─ tapi pada akhirnya kita sanggup berkata, “Baik, begitulah rasanya ketika aku kesepian. Aku tidak takut merasa sepi, tapi sekarang aku akan menyampingkan rasa sepi itu dan sadar bahwa di dunia ini emosi-emosi lain masih ada, maka aku akan mencoba mengalami semuanya.”


- Morrie Schwartz, dalam buku “Tuesday With Morrie” –

= to be continue =

1 comment:

Anonymous said...

aku membenci cinta dan mematikan cintaku sendiri... cinta itu omong kosong