Saturday, November 17, 2007

teh manis

postingan kali ini bukan tentang cara pembuatan teh ato ngomongin tentang produk2 teh. karena sekarang gw lagi maw posting cerpen, hihiy ! sebenernya ini tugas bahasa indonesia gw seminggu yang lalu, hehe, selamat membacaa.. ;)

TEH MANIS
Alia Prawitasari / 02 / XII IPS


Di luar hujan rintik-rintik mulai berjatuhan. Aku telah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Saat musim hujan begini, tak ada gunanya berlama-lama di sekolah walaupun itu merupakan salah satu kegiatan favoritku. Biasanya jika tidak nongkrong di tempat favoritku bersama teman-teman, aku akan berdiam diri di atas rumput-rumput, bersandar di pohon besar itu ― yang entah pohon apa aku tak tahu namanya. Kadang sambil bersantai aku melihat langit, gumpalan-gumpalan awan putih yang mengingatkanku pada gula-gula jajanan waktu SD. Atau melihat ke arah tempat itu, tempat di mana biasanya dia berada.

Di luar hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, menderas. Aku telah berada di rumah sejak satu setengah jam yang lalu. Aku menjerang sepanci air di atas kompor. Tempat dia berada tak begitu jauh lokasinya. Tempat itu adalah sebuah tempat umum yang sering dilewati orang-orang ― lorong. Teman-teman seangkatanku, adik dan kakak kelas, guru, karyawan maupun pesuruh telah berkali-kali melewati tempat itu. Bahkan mungkin bosan. Jejak kaki mereka sudah tercetak barangkali. Tapi aku tetap di sini. Di bawah pohon kesayanganku. Melihat dari kejauhan. Dia sedang apa ? tanyaku pada angin kosong. Tak ada yang menjawabku. Gumpalan-gumpalan awan itu begitu indah, apa namanya ? Cirrus ? Cumulus ? Ah, sudah lupa, pikirku. Padahal baru minggu lalu aku mempelajarinya. Mungkin lalat, nyamuk, kecoa dan cicak, binatang-binatang kecil itu memiliki keberanian yang lebih besar dariku yang pengecut ini.

Di luar hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, menderas, dan diikuti angin. Angin sepoi-sepoi seperti yang selalu kunikmati di bawah pohon besar itu ? Perlahan aku cari ke dalam lemari. Kutemukan sekotak teh celup dan setoples gula. Gula manis. Gula pasir. Seperti gula itu, lorong tempatnya pun begitu. Menggoda. Selangkah demi selangkah aku tinggalkan tempat nyamanku di atas rumput-rumput, di bawah pohon besarku, tempatku melihat gumpalan awan ― yang entah cirrus entah cumulus. Teman-temanku tersentak melihatku berjalan ke tempat itu, tetapi mereka tak berkata apa-apa. Mereka mengerti aku. Mereka tak pernah mengajakku ke tempat itu. Namun mereka juga tak pernah melarangku pergi. Mereka temanku, tapi keinginanku tak berada di bawah kendali mereka. Mungkin memang begitu seharusnya teman. Tak mengekang, namun memeluk dengan lembut dari belakang. Tetap memberi semangat walau dari kejauhan.

Di luar hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, menderas, dan diikuti angin. Kilat mulai meluncur. Memperlihatkan cahaya-cahaya yang begitu indah di tengah gelapnya cuaca. Kuambil cangkir dari rak. Masih basah saat kusentuh. Setelah aku mengelapnya, kuletakkan satu kantong teh celup dan dua sendok gula ke dalamnya. Aku menaiki tangga setelah melalui lorong lain penuh berisi kelas. Lorong manis semenggoda gula itu memang berada di lantai dua. Langkahku melambat. Padahal perjalanan belum habis masanya. Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Temanku di bawah melihatku dengan sabar. Aku mengangguk pada mereka ― entah mereka melihatnya atau tidak. Aku bermaksud melanjutkan perjalanan yang seharusnya tak memakan waktu lebih dari tujuh menit. Berat sekali rasanya melakukan perjalanan ini, gumamku pelan sambil menerawang. Sejenak melirik kembali, mengintip ke langit memastikan gumpalan putih ― yang entah cirrus entah cumulus ― itu masih ada atau tidak.

Di luar hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, menderas, dan diikuti angin. Kilat mulai meluncur. Memperlihatkan cahaya-cahaya yang begitu indah di tengah gelapnya cuaca. Namun kini ia tak sendirian, karena petir siap menemaninya dengan dentuman suaranya yang perkasa. Air di panci mulai mendidih. Aku tahu itu karena saat kuintip terlihat butiran-butiran udara telah bermunculan di ujung-ujung sudut panci bulat tersebut. Ya, aku tahu itu panas. Sepanas diriku yang semakin menggelora berkeinginan menghabisi lorong itu. Menghabiskan perjalanan mendebarkan sekaligus melelahkan. Menuju lorong tempat dia berada. Ya, tempat dia berada. Tempat dia berada yang biasanya hanya kulihat dari kejauhan, saat aku berada di atas rumput, di bawah pohon besarku sambil melihat langit yang penuh gumpalan awan ― yang entah cirrus entah cumulus. Cepat sampai cepat sampai, bisikku. Dab seperti keinginanku, aku semakin dekat dari lorong semanis gula tempatnya berada. Satu langkah, dua langkah, dan, aku sampai ! Teriakku takjub, tak percaya dapat melakukan hal ini kembali. Aku menghirup udara satu-satu. Menahan senyum manis yang dari tadi hamper lolos diantara kegelisahanku. Aku berhasil ! Sekali lagi aku hembuskan nafas. Aku melihat sekeliling dengan semangat. Mencari objek yang sejak dulu hanya kulihat dari atas rumput, di bawah pohon besarku sambil melihat langit yang penuh gumpalan awan --- entah cirrus entah cumulus. Tapi..

“ Alia, kamu sedang apa di sini ? “

Aku tersentak kaget. Di belakang kulirik. Ah bukan dia, kecewaku.

“Alia, kamu sedang apa di sini ? “

Dia mengulang pertanyannya kembali. Apa maksudnya ? Apa dia mengira aku tak mengerti pertanyaannya sampai harus mengulangnya hingga dua kali ?

“ Mencari dia ? “

Akhirnya dia tahu alasanku. Memang jarang sekali aku menampakkan diri di sini tanpa tujuan. Dan tujuanku memang hanya satu. Aku tersenyum.

“ Alia, kamu sedang apa di sini ? Mencari dia ? Tapi dia kan.. “

Kembali pertanyaaannya berulang. Dan kali ini disertai sebuah pernyataan yang terputus. Benakku dipenuhi tanda tanya dan itu pasti tergambar jelas pada wajahku.

“ Alia, kamu sedang apa di sini ? Mencari dia ? Tapi dia kan.. Dia telah lama pergi, Alia ! Dia sudah tak ada di sini ! Tak tahukah engkau ? “

Di luar hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, menderas, dan diikuti angin. Kilat mulai meluncur. Memperlihatkan cahaya-cahaya yang begitu indah di tengah gelapnya cuaca. Namun kini aia tak sendirian, karena petir siap menemaninya dengan dentuman suaranya yang perkasa. Kumatikan kompor karena air di dalam panci sudah meluap. Sebagian kecil di antaranya sudah berubah wujud menjadi uap barangkali. Suara-suara silih berganti muncul di kepalaku. Dia sudah tidak ada. Dia sudah tidak ada. Dia sudah tidak ada. Ke mana ? Aku menunduk, tak percaya sekaligus takjub. Aku baru mengetahuinya. Kugenggam tanganku yang dulu pernah menggenggamnya. Kududuk di satu bagian lorong di mana dia sering duduk. Kusenandungkan lagu yang menjadi senandungnya. Lagi-lagi aku menunduk, dan kali ini tidak sekedar itu. Bayang-bayang mulai menghampiri. Saat aku duduk di atas rumput, di bawah pohon besarku sambil melihat langit yang dipenuhi gumpalan awan --- entah cirrus entah cumulus. Sambil melihat tempat dia berada. Dia ada dia ada ! Aku masih bersikeras. Dia, dia masih ada di sini. Baunya, jejaknya, bayangnya, masih jelas terbayang, aku masih bersikeras.

“ Alia, kamu sedang apa di sini ? “

Bergegas memelukku setelah melihat tindak tandukku sehabis mendengar ucapannya. Pertanyaan itu berulang, kali ini disertai isakan.

“ Alia jangan biarkan semua itu membelenggumu. Lihat aku lihat aku ! Aku di sini masih ada untukmu ! Jangan ingat-ingat hal itu kembali ! “

Isakan-isakan memenuhi telingaku. Aku bangkit berdiri. Mengengok ke sana ke mari. Dia sudah tidak ada. Dia sudah tidak ada. Kulirik langit dan kulihat gumpalan awan, yang seperti gula-gula jajananku saat masih SD.

Di luar hujan rintik-rintik mulai berjatuhan. Namun mulai mereda. Kuangkat panci berisi air panas tersebut, lalu kutuang ke dalam cangkir yang didalamnya telah tersedia sekantong teh celup dan dua sendok gula pasir. Setelah cukup penuhnya, kuletakkan kembali panci dan kuaduk isi cangkir tersebut hingga aroma, warna, serta rasa teh dan gulanya bercampur rata. Kutungu sejenak hingga panasnya turun. Di sela-sela, kuingat sebuah bait familiar di benakku,

“ Deras hujan yang turun mengingatkanku pada dirimu..
Aku masih di sini untuk setia.. “

Dan air mata berjatuhan di pipiku. Teringat tempat kesukaanku dulu, di atas rumput-rumput, di bawah pohon besarku, sambil melihat gumpalan awan ― yang entah cirrus atau cumulus, sambil melihat tempat dia berada.

Hujan telah mereda. Kuteguk teh hangat dari cangkir. Manis menggoda karena gula di dalamnya. Namun aku tahu kini lorong itu tak lagi semanis gula. Karena sekarang lorong itu hanyalah lorong tempat di mana dia tak berada.

# terima kasih kepada " dia " yang telah memberikan inspirasi sehingga cerpen ini dapat terselesaikan dengan sangat baik.. :) * halahh *

= to be continue =
* foto diambil dari www.istockphoto.com/

No comments: