Europe on Screen atau yang biasa disingkat EoS merupakan acara rutin setiap tahun yang diadakan oleh beberapa kedutaan besar Eropa. Acara ini berisi pemutaran film-film gratis yang berasal dari Eropa. Gw mengikuti event ini sejak tahun 2008 hingga sekarang.
Yang membuat gw tertarik adalah karena gratisnya (huehehe) dan film yang diputar merupakan film yang sulit ditonton karena tidak pernah tayang di bioskop Indonesia. Beberapa di antaranya adalah berbentuk film indie dan dokumenter. Pun film yang ditayangkan dipilih film-film yang memang menceritakan budaya Eropa sehingga ketika menonton kita tidak hanya mendapat hiburan, tetapi juga pengetahuan tentang budaya setempat.
Tiket dan booklet
EoS tahun 2014 diadakan tanggal 2-11 Mei. Karena diadakannya bersamaan dengan jalannya intensif, maka gw baru bisa mengikuti dari hari Jumat tanggal 9 hingga Minggu tanggal 11. Beberapa film yang gw tonton di antaranya:
Jumat, 9 Mei 2014
- Playtime 14.30 di IFI Salemba
Sabtu, 10 Mei 2014
- The Magician 12.00 di Erasmus Huis
- Searching for Sugarman 14.30 di Goethe Haus
- Philomena 19.00 di Goethe Haus
Minggu, 11 Mei 2014
- In Orange 12.00 di IIC
- Wadjda 14.30 di Goethe Haus
----------
Sinopsis singkatnya:
- Playtime, cerita tentang seseorang yang mau interview untuk sebuah perusahaan. Perusahaan tersebut telah menggunakan teknologi canggih (untuk masa tersebut) sehingga si orang ini malah tersesat keliling gedung dan malah ikut serta dalam sebuah rombongan tur.
The Magician
- The Magician, seorang ayah ditemani anak lelakinya dan teman perempuan anak lelakinya membuka sebuah grup sulap. Karena penasaran, mereka mencoba trik kotak yang dapat menghilangkan orang. Tetapi anak perempuan yang menjadi kelinci percobaan kotak menghilang tersebut tak kunjung kembali sehingga sang ayah dituduh melakukan upaya penculikan. Ternyata anak perempuan ini melakukannya untuk menyadarkan kedua orang tuanya yang sudah bercerai dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing agar kembali memberikan perhatian kepadanya.
- Searching for The Sugarman. Bener-bener nggak nyangka filmnya bakal sebagus ini. Filmnya berbentuk dokumenter tentang pencarian The Sugarman, nama panggilan untuk seorang penyanyi yang bernama asli Rodrigues. Di Amerika, Rodrigues merilis lagu dan album di era 1970-an. Namun lagu dan albumnya tidak sukses sehingga albumnya tidak dilanjutkan. Tetapi berkat seorang perempuan yang berkunjung ke Afrika Selatan untuk menemui pacarnya sambil membawa album Rodrigues, tanpa sengaja lagu-lagu Rodrigues menjadi populer di sana. Sayangnya karena albumnya tidak diproduksi lagi, maka yang beredar adalah bajakan dari kaset asli tersebut.
Perjuangan apartheid di Afrika Selatan juga disemangati oleh lagu-lagu Rodrigues hingga pernah ada saat di mana pemerintah di Afrika Selatan melarang peredaran lagu tersebut. Setelah Afrika Selatan mendapat kemerdekaan, dua fans Rodrigues berusaha melacak sang penyanyi, dan kaget karena di Amerika sendiri, jarang sekali yang mengetahui tentang Rodrigues. Malah diberitakan bahwa Rodrigues sudah bunuh diri dengan menyiram badannya dengan minyak dan membakar dirinya sendiri di sebuah klub saat pentas.
Pencarian ini diabadikan dengan apik di film ini, diiringi lagu-lagu Rodrigues yang ciamik. Menonton film ini membuat gw langsung searching di google dan menyimpan lagunya dalam satu folder sendiri ;)
- Philomena, film tentang adanya tradisi gereja di masa lalu yang menghukum para gadis yang hamil di luar nikah dengan menjadikan mereka buruh cuci, dan memperjualbelikan anak yang telah mereka lahirkan. Philomena dari Inggris, dibantu seorang penulis berusaha melacak anak kandungnya yang diadopsi oleh pasangan yang berasal dari Amerika. Ketika berhasil menemukan tentang anaknya, ternyata anaknya merupakan seorang pejabat pemerintahan, memiliki kekasih gay, dan telah meninggal karena kasus HIV.
Philomena pun mengetahui bahwa sebelum meninggal, anaknya telah sempat mendatangi gereja tempatnya dilahirkan untuk mencari ibunya, yaitu Philomena sendiri. Padahal Philomena sering mendatangi gereja itu juga untuk mencari tau kabar jika anaknya datang. Terungkaplah bahwa gereja tersebut berusaha menutupi kisah buruk masa lalu tentang jual beli anak hingga membakar berkas-berkas tentang jual beli yang telah terjadi, dan tidak menyampaikan informasi jika ada ibu dan anak yang saling mencari satu sama lain.
- In Orange, seorang anak lelaki remaja yang gemar bermain sepak bola dan berjuang untuk masuk ke dalam tim nasional negara Belanda. Keinginannya semakin tinggi karena selalu disemangati oleh ayahnya yang selalu berapi-api dalam memberikan nasihat dan semangat saat bertanding. Sayang kemudian ayahnya meninggal karena serangan jantung. Sang anak mulai mencari-cari semangat baru, yang dia temukan kembali dalam wujud ayahnya yang sudah meninggal. Ibunya menjadi khawatir dan membawanya ke psikolog. Tetapi dengan jujur sang anak menceritakan ayahnya yang masih terus hadir untuk menyemangatinya dalam bermain bola.
Hingga suatu saat sang anak merasa cukup dan meminta ayahnya untuk pergi saja. Bukan berarti si anak sudah tak menyayangi ayahnya, tetapi dia sudah menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah meninggal dan saatnya bisa melihat ke depan dengan semangat baru dari sumber lainnya.
- Wadjda, seorang anak perempuan yang tinggal di Arab Saudi dan ingin memiliki sepeda. Sayang sepeda harganya mahal dan orang tuanya tidak mampu membelikan. Wadjda berusaha mengumpulkan uang hingga berusaha mengikuti lomba baca Al-Quran agar hadiahnya bisa untuk membeli sepeda. Tetapi gurunya merasa bahwa uang itu lebih baik disedekahkan untuk warga Palestina. Wadjda pun harus menghadapi kenyataan bahwa budaya di Arab Saudi yang patriarkal masih menganggap bahwa sepeda identik dengan anak lelaki sehingga menjadi lebih sulit untuk Wadjda untuk memilikinya.
----------
Sekarang tentang tempatnya, gw menonton di 4 tempat. Tempat paling nggak enak yang gw datangi adalah di IFI Salemba. Kursinya memang empuk, tapi kursinya disusun kurang bertangga-tangga sehingga yang duduk di belakang dengan mudah tertutupi kursi depannya. Ketutupannya nggak terlalu banyak sih, tapi karena film yang gw tonton berbahasa Prancis, mau nggak mau gw akan butuh subtitlenya kan supaya ngerti. Oiya, IFI Salemba punya kapasistas kursi paling sedikit, kayaknya cuma bisa 20 orang, tapi acnya yang paling terasa panas, huks.
Yang paling berbeda adalah di IIC, mereka menyediakan kursi yang tempat duduknya dari kain. Jadi seperti kursi lipat santai gitu. Kalau IFI dan IIC kapasitasnya tidak terlalu besar, Goethe Haus dan Erasmus Huis menyediakan kapasitas yang lebih besar. Tapi penempatan kursi di Goethe Haus terlalu maju ke depan. Soalnya saat itu gw dateng telat, alhamdulillah masih bisa masuk tapi dapat kursi paling depan. Sumpah itu pegeeeeel banget leher :(
Paling puas sepertinya di Erasmus Huis deh. Dan gw angkat topi juga untuk para panitia terutama bagian publikasi karena ini adalah EoS teramai yang pernah gw datangi. Antrian di Erasmus super panjang, sampai kapasitasnya pun nggak muat.
Diambil dari twitter seseorang. Btw ini belum keseluruhan
antrian lho, paling baru sepertiganya.
Oiya, gw juga seneng banget karena di Eos tahun ini, gw mendapatkan doorprize yeaaaay. Tahun lalu juga dapet voucher diskon makan di Kopi Oey, tapi ga sempet dipake karena ga sempet ke sana :'( Tahun ini dapet goodybag berisi boneka Teddy Bear :3
Sip banget deh EoS tahun ini, mari kita bersabar menunggu EoS tahun depan :D
= to be continued =